TRIBUNNEWS.COM, GARUT - Setelah diterbitkannya SKB Lima Menteri (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan Menteri Agama) pada 3 Oktober 2011, para guru mengkhawatirkan SKB tersebut.
SKB ini berisi kesepakatan kerja sama dan bentuk dukungan dalam hal pemantauan, evaluasi, dan kebijakan penataan serta pemerataan guru secara nasional. Tapi, pada pelaksanaannya dinilai akan banyak dampak negatif yang muncul. Di antaranya ancaman mutasi secara besar-besaran dan tersingkirnya guru PNS junior dan guru honorer dari sekolah negeri.
Wakil Ketua Serikat Guru Indonesia (SEGI) Kabupaten Garut, Asep Setioaji, mengatakan pemberlakuan SKB Lima Menteri itu akan berdampak luas di sekolah- sekolah, khususnya sekolah yang memiliki jumlah guru bersertifikat cukup banyak.
Dengan banyaknya guru bersertifikat di suatu sekolah, kata dia, potensi rebutan jam mengajar sangat mungkin terjadi. Ujung-ujungnya, kata dia, yang sangat mungkin menjadi korban aturan tersebut adalah para guru honorer yang jam mengajarnya diambil oleh guru bersertifikat.
"Kasihan kepala sekolah untuk mengatur. Mungkin akan banyak guru honorer yang menjadi korban atau dikorbankan agar kewajiban tatap muka 24 jam per minggu itu bisa terpenuhi oleh para guru bersertifikat," kata Asep belum lama ini.
Menurut dia, aturan yang tertuang dalam SKB tersebut secara kasat mata cenderung diskriminatif karena aturannya diberlakukan secara parsial. Ia mencontohkan, aturan pemberlakukan kewajiban tatap muka 24 jam per minggu hanya di sekolah negeri, sementara sekolah swasta tidak.
Asep mengaku sudah mendeteksi kegalauan para guru honorer di berbagai wilayah yang khawatir terkenda dampak domino jika aturan SKB Lima Menteri itu diberlakukan. "Kehidupan para guru honorer sangat mungkin akan semakin terjepit," kata dia.
Meski begitu, ia masih optimistis SKB Lima Menteri tersebut masih dapat dilaksanakan oleh setiap sekolah. Syaratnya, kata dia, perlu ada perombakan besar- besaran pada jadwal mengajar para guru di tiap sekolah dengan tetap memperhatikan jumlah guru, termasuk jam mengajar para guru honorer.
Salah seorang guru SMP bersertifikat di Kecamatan Leles, yang enggan disebutkan namanya, mengaku "galau" dengan rencana pemberlakuan aturan yang tertuang dalam SKB itu. Pasalnya, selama ini jam mengajar tatap muka guru tersebut belum mencapai 24 jam per minggunya.
"Ya, khawatir. Saya hanya mengajar 16 jam per minggu. Jika harus 24 jam per minggu, takutnya tidak tercapai karena kan yang menentukan jam mengajar pihak sekolah," ujar pria tersebut. Guru lainnya, asal Kecamatan Tarogong Kidul, menyatakan hal serupa. Iis (35), bukan nama sebenarnya, mengaku pesimistis kewajiban mengajarnya yang harus mencapai 24 jam per minggu akan bisa terpenuhi. Pasalnya, jumlah guru bersertifkat di sekolahnya sangat banyak.
"Bisa jadi akan rebutan jam mengajar, apalagi gurunya banyak. Kalau dulu kan bisa diganti pelajaran tambahan, tapi kalau sekarang, bagaimana caranya? Pusing juga. Galau, deh," kata wanita berkerudung itu sambil menyatakan khawatir kepala sekolah akan lebih mendahulukan senioritas atau faktor kedekatan.
untuk melihat sumber aslinya
No comments:
Post a Comment